TRIBUNGROUP.NET – Dunia telah bergeser. Setelah bertahun-tahun menahan diri di bawah tekanan politik, ekonomi, dan militer global, Iran akhirnya bicara—bukan dengan diplomasi yang hambar, melainkan dengan gelombang rudal yang menyayat langit malam Tel Aviv. Dalam satu malam yang mengubah segalanya, kota yang selama ini diklaim sebagai benteng keamanan teknologi tinggi itu, diguncang. Bukan hanya secara fisik, tapi juga secara simbolik.
Tel Aviv Porak-Poranda: Kejatuhan Simbol Keamanan Modern
Serangan balasan Iran terhadap Israel tidak lagi bisa dibaca sebagai sekadar respons militer. Ini adalah deklarasi strategis. Ini adalah Iran berkata kepada dunia: kami bukan hanya objek dari sistem internasional; kami juga subjek yang menentukan arah sejarah kami sendiri. Ketika para ilmuwan dan jenderal mereka dibunuh, ketika Teheran dilukai, Iran tidak mengadu. Mereka menghitung. Mereka membalas.
Data dari IRGC dan pemantauan pertahanan internasional menunjukkan bahwa lebih dari 350 rudal dan drone dilepaskan dalam waktu kurang dari enam jam. Sistem Iron Dome yang selama ini dibanggakan Israel nyaris lumpuh. Shahed dan rudal Fateh generasi baru, dengan teknologi navigasi non-GPS, menembus radar dan menghantam tepat sasaran.
Ini bukan sekadar unjuk kekuatan. Ini adalah hasil dari empat dekade konsistensi membangun pertahanan nasional di bawah embargo, tekanan, dan isolasi. Dunia kini menyaksikan hasil dari apa yang oleh banyak negara disebut “nekad”—tapi bagi Iran, itu adalah strategi bertahan hidup.
Ketika Surat Tak Dibalas dan Dunia Memilih Diam
Sebelum roket-roket itu meluncur, Iran sudah mengirim surat resmi ke Sekretaris Jenderal PBB, mengutip Pasal 51 Piagam PBB yang memberi hak membela diri. Namun tak ada respon. Dunia memilih bungkam, sekali lagi membuktikan bahwa sistem hukum internasional kerap menjadi panggung selektif, bukan panglima keadilan universal.
Apa yang terjadi di Gaza, di Tepi Barat, di Damaskus, hingga ke Teheran, adalah simfoni ketidakadilan yang tak pernah mendapat jawaban. Iran hanya melakukan apa yang akan dilakukan negara mana pun yang diserang: bertahan dan membalas.

Kegagalan Sistem Internasional: Ketika Kekuatan Menjadi Satu-Satunya Hukum
Peristiwa ini menelanjangi mitos lama: bahwa hukum internasional dapat melindungi yang lemah. Nyatanya, yang lemah justru tunduk pada hukum; yang kuat, menciptakannya. Ketika dunia membiarkan Gaza terbakar, ketika serangan Israel ke Iran tidak dikecam, maka tidak ada yang tersisa dari legitimasi hukum internasional selain arsip diplomasi yang tak berguna.
Iran membuktikan bahwa bertahan hidup dalam dunia yang anarkis bukan soal pengakuan internasional, melainkan kemandirian nasional. Mereka berdiri di atas kaki sendiri—dan mereka membalas bukan karena dendam, tapi karena pilihan moral.
Indonesia dan Panggilan Sejarah
Kita, Indonesia, tidak boleh diam. Dengan warisan sejarah anti-kolonialisme dan amanat konstitusi yang menolak segala bentuk penjajahan, Indonesia memiliki mandat moral untuk bersuara. Pemerintahan Prabowo–Gibran punya momen emas untuk membuktikan bahwa kebijakan luar negeri Indonesia bukan sekadar retorika, melainkan sikap geopolitik yang aktif dan berdaulat.
Sudah saatnya Indonesia mengambil peran sebagai kekuatan tengah (middle power) yang berani, konsisten, dan berbasis pada keadilan. Dunia tidak butuh penonton baru—dunia butuh pelaku sejarah yang berani memihak pada kebenaran, meskipun itu tidak populer.
Dunia Anarkis, Martabat Hanya Milik yang Mandiri
Iran hari ini adalah cermin keras bagi dunia: bahwa martabat hanya milik mereka yang mampu mempertahankannya. Dalam dunia internasional yang bebas aturan, kekuatan nasional bukanlah pilihan, melainkan prasyarat.
Bangsa ini—Indonesia—harus kembali menegaskan bahwa berdiri di atas kaki sendiri bukan jargon lama yang usang, tapi prinsip abadi dalam menghadapi dunia yang sering tidak adil.
Seperti kata Bung Karno: “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.” Dan dari Iran, hari ini, sejarah sedang ditulis kembali—bukan dengan pena, tetapi dengan nyala roket dan keberanian untuk melawan.