TRIBUNGROUP.NET – Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) menggelar uji publik Rancangan Undang-Undang (RUU) Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati di Ruang Rapat Soepomo, Sekretariat Jenderal Kemenkumham, pada Rabu (8/10/2025).
Dalam kesempatan itu, Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham), Eddy Hiariej, mengungkapkan adanya pertimbangan pilihan metode eksekusi baru selain tembak mati.
Menurutnya, ada opsi pelaksanaan pidana mati yang lebih cepat dan manusiawi, seperti injeksi mematikan (lethal injection) atau kursi listrik.
“Mungkin secara ilmiah bisa dipertimbangkan, yang mendatangkan kematian paling cepat itu apakah dengan kursi listrik, tembak mati, atau injeksi. Kemarin sempat tercetus kenapa tidak diberikan pilihan, ini yang bisa kita diskusikan,” ujar Eddy Hiariej.
RUU Disusun untuk Menjamin Perlindungan HAM
Wamenkumham menjelaskan bahwa tujuan utama RUU Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati ini adalah untuk memberikan jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM) bagi terpidana mati.
Prinsip tersebut berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945, agar pelaksanaan pidana mati tetap memperhatikan nilai kemanusiaan serta tidak menimbulkan penyiksaan.
“Tujuan dari RUU ini adalah memberikan jaminan pelindungan bagi terpidana mati berdasarkan prinsip HAM yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia,” jelas Eddy.
Masuk Prioritas Legislasi Nasional Tahun 2025
Eddy Hiariej mengonfirmasi bahwa RUU Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati telah masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2025, sebagaimana tertuang dalam Keputusan DPR RI Nomor 23/DPR RI/I/2025-2026.
RUU ini nantinya akan menggantikan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964, yang selama ini menjadi dasar hukum pelaksanaan pidana mati di Indonesia.
“Pada 23 September 2025, DPR telah memutuskan bahwa RUU pelaksanaan pidana mati masuk prioritas tahun ini. Setelah pembahasan dan paraf antar kementerian, kami akan segera ajukan ke Presiden bersama dengan RUU Penyesuaian Pidana,” ujar Eddy.
Perbedaan RUU Baru dengan Aturan Lama
Dalam pembahasannya, Eddy menjelaskan sejumlah pembaruan substansial yang membedakan RUU ini dengan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964.
RUU baru memberikan penegasan terhadap hak, kewajiban, dan persyaratan bagi terpidana mati, sesuai dengan perkembangan hukum modern.
Hak-hak narapidana diatur dengan merujuk pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan, di antaranya:
- Bebas dari penggunaan alat pengekangan berlebihan.
- Mendapatkan fasilitas hunian yang layak.
- Dapat berkomunikasi dengan keluarga atau kerabat setelah penetapan eksekusi.
- Berhak mengajukan tempat pelaksanaan pidana mati.
- Dapat mengajukan permintaan lokasi dan tata cara penguburan.
“RUU ini menegaskan penghormatan terhadap martabat manusia, bahkan dalam tahap akhir hukuman,” kata Eddy.
Syarat dan Prosedur Eksekusi Pidana Mati
Lebih lanjut, Eddy menjelaskan bahwa pelaksanaan pidana mati hanya dilakukan setelah masa percobaan berakhir dan terpidana tidak menunjukkan sikap atau perilaku yang terpuji.
Selain itu, syarat mutlak sebelum eksekusi dilakukan adalah:
- Terpidana sudah mengajukan grasi dan permohonan tersebut ditolak.
- Terpidana berada dalam kondisi sehat secara medis.
- Telah melewati masa tunggu pelaksanaan pidana sesuai prosedur hukum.
“Pelaksanaan pidana mati dilakukan ketika tidak ada lagi harapan untuk memperbaiki diri, dan semua proses hukum telah ditempuh,” tegas Eddy.
Menuju Regulasi yang Lebih Manusiawi
RUU Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati diharapkan menjadi landasan hukum baru yang lebih komprehensif, transparan, dan berkeadilan.
Dengan adanya pembaruan ini, Indonesia berupaya menyesuaikan praktik hukuman mati dengan standar hak asasi manusia internasional, tanpa mengabaikan aspek penegakan hukum nasional.
Pemerintah kini menunggu hasil uji publik dan masukan masyarakat untuk menyempurnakan RUU tersebut sebelum diajukan ke Presiden dan DPR RI untuk pembahasan final.