TRIBUNGROUP.NET – Perdana Menteri Nepal, Khadga Prasad Sharma Oli, mengumumkan pengunduran dirinya pada Selasa (9/9/2025). Keputusan itu diambil setelah gelombang protes anti-pemerintah berubah menjadi kerusuhan berdarah yang melumpuhkan ibu kota Kathmandu.
“Dengan mempertimbangkan situasi buruk di negara ini, saya mengundurkan diri efektif hari ini untuk memfasilitasi solusi atas masalah ini dan membantu menyelesaikannya secara politik sesuai dengan konstitusi,” tulis Oli dalam surat pengunduran dirinya kepada Presiden Ram Chandra Poudel.
Namun, langkah mundurnya Oli tidak serta-merta meredam amarah publik. Massa tetap mengepung gedung parlemen, membakar rumah pejabat tinggi, termasuk kediaman Presiden Poudel dan Menteri Dalam Negeri Ramesh Lekhak.
Aksi Brutal terhadap Pejabat Tinggi
Kerusuhan di Nepal tidak hanya merenggut korban jiwa dari kalangan sipil. Dua pejabat tinggi negara, Menteri Luar Negeri Arzu Deuba dan Menteri Keuangan Bisnhu Paudel, menjadi sasaran amarah massa.
Deuba, 63 tahun, dipukuli dan ditendang demonstran setelah rumahnya diterobos massa. Video yang beredar di media sosial memperlihatkan wajahnya berlumuran darah.
Paudel, 65 tahun, terekam berlari di jalanan Kathmandu sebelum ditendang demonstran hingga terjatuh menabrak tembok. Meski berhasil bangkit dan kabur, keberadaannya hingga kini belum jelas.
Aksi brutal ini menandai betapa tingginya eskalasi kerusuhan, yang sebelumnya “hanya” berupa demonstrasi menentang kebijakan pemerintah.
Gelombang protes yang memuncak pada Senin (8/9) berujung bentrokan dengan aparat keamanan. Polisi melepaskan tembakan ke arah massa, menewaskan setidaknya 22 orang dan melukai lebih dari 150 lainnya. Gedung parlemen kemudian dibakar demonstran, menambah daftar simbol negara yang hancur akibat kerusuhan.
Kelompok HAM seperti Amnesty International Nepal mengecam keras penggunaan kekuatan berlebihan. “Kami sangat mengecam penggunaan senjata mematikan maupun non-mematikan secara melawan hukum oleh aparat keamanan,” ujar direktur Nirajan Thapaliya.
Kerusuhan terbaru dipicu kebijakan pemerintah memblokir 26 platform media sosial — termasuk Facebook, X, YouTube, LinkedIn, dan WhatsApp. Alasan resmi pemerintah: platform tersebut tidak membuka kantor penghubung di Nepal sesuai regulasi baru.
Namun, publik menilai kebijakan itu sebagai upaya membungkam kritik. Amarah semakin meluas setelah beredar video gaya hidup mewah anak-anak pejabat, kontras dengan kondisi rakyat yang hidup dalam kesulitan ekonomi.
Analis menilai, blokir media sosial hanyalah pemantik. Inti persoalan adalah frustrasi publik terhadap korupsi, tata kelola buruk, dan jarak antara elit politik dengan generasi muda.
“Larangan ini adalah upaya putus asa dari pemerintah yang tidak populer untuk membungkam lawan politiknya,” ujar Tara Nath Dahal, Ketua Freedom Forum Nepal.
Kekosongan Konstitusional dan Opsi Pemerintahan Baru
Pasca mundurnya Oli, Nepal kini memasuki masa kekosongan politik. Tidak ada ketentuan jelas dalam konstitusi 2015 terkait mekanisme darurat semacam ini.
Bipin Adhikari, profesor hukum Universitas Kathmandu, menilai opsi paling realistis adalah membentuk pemerintahan konsensus nasional yang melibatkan representasi generasi muda.
C.D. Bhatta, ilmuwan politik FES Nepal, lebih jauh menyebut kredibilitas semua partai politik “tidak relevan lagi” dan menyerukan peran militer untuk menjaga stabilitas.
“Pemerintahan sipil sementara dengan dukungan penuh tentara Nepal mungkin satu-satunya opsi,” tegas Bhatta.
Reaksi Internasional
Gejolak Nepal memicu kekhawatiran global. India, yang menampung ratusan ribu pekerja Nepal, menyerukan agar semua pihak menahan diri. Kedutaan besar Australia, Prancis, Jepang, Korea Selatan, Inggris, Jerman, dan Amerika Serikat di Nepal mengeluarkan pernyataan bersama yang mendesak:
- Menghindari eskalasi,
- Menjamin hak-hak fundamental warga,
- Menyelesaikan konflik lewat dialog damai.
Sementara itu, militer Nepal mengimbau warga lewat unggahan di X agar menahan diri dan tidak memperburuk keadaan.
Krisis Nepal kini bukan lagi sekadar soal blokir media sosial. Serangan terhadap pejabat tinggi, puluhan korban jiwa, pengunduran diri perdana menteri, hingga desakan pemerintahan konsensus nasional menunjukkan negara di kaki Himalaya ini tengah menghadapi badai politik terbesar dalam 20 tahun terakhir.
Pertanyaan besarnya: apakah langkah darurat akan mengembalikan stabilitas, atau justru menyeret Nepal ke dalam era baru ketidakpastian?