Aksi Heroik Pekerja Migran Selamatkan Korban Jalan Ambles di Singapura

TRIBUNGROUP.NETLubang besar sedalam tiga meter tiba-tiba terbuka di salah satu jalanan sibuk Singapura pada 26 Juli lalu, menelan sebuah mobil sedan yang sedang melaju. Seorang perempuan pengemudi berhasil keluar dari kendaraannya yang tenggelam, namun belum sempat menyelamatkan diri sepenuhnya. Di saat krusial itu, sejumlah pekerja migran dari India segera bertindak cepat dan menyelamatkannya.

Tanpa berpikir panjang, para pekerja itu mengambil tali dari proyek konstruksi terdekat dan melemparkannya ke arah korban. Dalam waktu kurang dari lima menit, mereka berhasil menarik perempuan tersebut ke tempat aman. Aksi heroik ini terekam video dan viral di media sosial, memicu pujian luas dari masyarakat Singapura yang menyebut para pekerja itu sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa.”

Namun di balik sorotan atas keberanian mereka, muncul kembali isu lama yang hingga kini belum terselesaikan: perlakuan terhadap pekerja migran di Singapura.

Pekerja Migran: Pahlawan yang Sering Terlupakan

Suppiah Pitchai Udaiyappan, salah satu penyelamat sekaligus mandor proyek, mengaku takut saat kejadian, namun instingnya hanya berkata satu hal: “Perempuan ini harus diselamatkan dulu.”

Udaiyappan bukan orang baru di Singapura. Ia telah bekerja di negara kota itu selama 22 tahun. Namun, seperti ribuan pekerja migran lainnya, ia tidak memiliki jalan untuk mendapatkan status penduduk tetap. Padahal, merekalah yang menyokong sektor konstruksi, pengiriman barang, dan pekerjaan berat lainnya di Singapura — profesi yang cenderung dihindari warga lokal.

Dalam kasus ini, tujuh pekerja asal India menjadi penyelamat. Namun ironisnya, dalam keseharian mereka, para pekerja migran ini justru menghadapi kondisi kerja dan hidup yang minim perlindungan.

Fakta yang Sering Terlupakan: Ketidakadilan Sistemik

Singapura dikenal sebagai salah satu negara maju di Asia, namun sistem tenaga kerjanya masih menyisakan banyak pertanyaan soal keadilan sosial.

  • Gaji Minim dan Beban Berat: Tidak ada upah minimum khusus bagi pekerja migran. Beberapa hanya menerima sekitar S$300 per bulan (sekitar Rp3,8 juta).
  • Kondisi Tempat Tinggal yang Buruk: Banyak yang tinggal di asrama padat, jauh dari kawasan pemukiman warga lokal.
  • Transpor Berbahaya: Mereka kerap diangkut menggunakan truk bak terbuka, tanpa sabuk pengaman. Sistem ini telah menyebabkan kematian puluhan pekerja dalam beberapa tahun terakhir.
Berita Lain  Seorang Pria Membunuh Pacar Sendiri Akibat Kesal Di Permalukan Di Grup WhatsApp

Menurut data tahun 2024, setidaknya empat pekerja migran tewas dan lebih dari 400 lainnya luka-luka akibat kecelakaan kendaraan truk terbuka.

Ucapan Terima Kasih atau Tokenisme?

Pemerintah Singapura memang memberikan medali penghargaan kepada tujuh pekerja penyelamat jalan amblas. Namun banyak pihak menilai langkah itu hanya bentuk tokenisme — simbol tanpa makna konkret yang tidak menyentuh akar persoalan.

Suraendher Kumarr, aktivis dari organisasi Workers Make Possible, menyatakan:

“Ucapan terima kasih atas kepahlawanan mereka tidak seharusnya membenarkan model ekonomi eksploitatif yang menindas mereka setiap hari demi menopang kehidupan kita di Singapura.”

Sebagian warganet bahkan menyerukan agar para penyelamat diberikan hadiah uang tunai dan status izin tinggal permanen sebagai bentuk penghargaan sejati.

Panggilan untuk Reformasi: Transportasi dan Keadilan Sosial

Kasus ini kembali menyoroti masalah lama soal penggunaan truk untuk mengangkut pekerja. Pemerintah telah menyatakan bahwa larangan total terhadap praktik tersebut akan membebani perusahaan kecil dan memperlambat proyek pembangunan penting seperti rumah sakit dan sekolah.

Namun para aktivis membantah argumen ini, dengan menyebut bahwa banyak negara seperti Bahrain dan Uni Emirat Arab yang sudah melarang pengangkutan manusia menggunakan truk demi keselamatan.

Alex Au, wakil presiden Transient Workers Count Too, menyebut:

“Kami melihat mereka dipandang sebagai kelas yang berbeda. Kami berharap mereka melayani kita, dan percaya itu alasan mereka berada di sini.”

Kelompok hak migran It’s Raining Raincoats berhasil mengumpulkan lebih dari S$72.000 dari publik, yang akan dibagi rata kepada tujuh pekerja penyelamat. Namun, sejumlah pengamat mengatakan ini belum cukup.

Jaya Anil Kumar dari Humanitarian Organization for Migration Economics (HOME) menambahkan bahwa pekerja migran masih belum dilindungi secara hukum, bahkan untuk hal-hal mendasar seperti mengajukan keluhan atau menikah dengan warga lokal.

Berita Lain  Ayah Tiri Perkosa Anak Tirinya Sebanyak 5 kali

Beberapa tuntutan utama para aktivis antara lain:

  • Penghentian pengangkutan menggunakan truk bak terbuka
  • Upah layak dan terstandarisasi
  • Akses pada layanan kesehatan dan keadilan hukum
  • Perlindungan terhadap pelapor pelanggaran (whistleblower)

Kesadaran masyarakat memang mulai meningkat. Beberapa pekerja telah diberi panggung untuk tampil dalam pertunjukan budaya, dan karya tulis mereka diterbitkan warga lokal.

Namun perubahan regulasi berjalan lambat. Banyak pihak menilai ini akibat kurangnya kemauan politik untuk mengubah status quo yang sudah menguntungkan sebagian besar pihak industri.

Sampai saat ini, para pekerja migran terus bekerja dalam diam, di balik kemegahan gedung-gedung pencakar langit dan fasilitas canggih Singapura — negara yang mereka bantu bangun namun belum sepenuhnya menerima mereka sebagai bagian dari komunitas.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *