TRIBUNGROUP.NET – Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali melontarkan ancaman serius kepada negara-negara yang tergabung dalam aliansi BRICS, dengan janji akan memberlakukan tarif tambahan sebesar 10% kepada negara yang mendukung kebijakan yang dinilainya “anti-Amerika”. Ancaman ini muncul di tengah memanasnya hubungan ekonomi global, saat BRICS terus mendorong agenda diversifikasi dari dominasi dolar AS.
Ancaman tersebut disampaikan Trump bertepatan dengan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS di Rio de Janeiro, Brasil, pada Minggu (5/7/2025). Dalam unggahan di Truth Social, Trump mempertegas kekhawatiran bahwa ekspansi BRICS dan upaya dedolarisasi mengancam supremasi ekonomi Amerika Serikat.
“Negara mana pun yang mendukung kebijakan anti-Amerika dari BRICS akan dikenakan tarif tambahan sebesar 10%,” tegas Trump dalam unggahan resminya.
Dominasi Dolar di Ujung Tanduk?
Selama beberapa tahun terakhir, negara-negara BRICS — yang kini telah bertambah menjadi 10 anggota, termasuk Indonesia, Arab Saudi, Mesir, Ethiopia, dan Uni Emirat Arab — semakin gencar mendorong transaksi lintas negara menggunakan mata uang lokal, meninggalkan ketergantungan pada dolar AS.
Langkah ini dipelopori oleh Rusia dan Cina, terutama setelah kedua negara menghadapi sanksi berat dari Barat. Transaksi migas dan perdagangan besar kini banyak dilakukan dalam rubel, yuan, bahkan dirham UEA. India, misalnya, sejak 2023 membayar minyak Rusia dalam kombinasi mata uang non-dolar.
Namun demikian, menurut Herbert Poenisch, ekonom senior dan mantan pejabat Bank for International Settlements, “Dedolarisasi belum memiliki daya rusak jangka pendek. Dominasi dolar masih mencakup 90% transaksi global dan hampir 60% cadangan devisa dunia.”
Indonesia di Persimpangan Jalan
Indonesia sendiri resmi bergabung ke BRICS pada Januari 2025, menyusul dorongan kuat Presiden Joko Widodo yang ingin mendorong peran Indonesia dalam tatanan global multipolar. Keputusan ini disambut hangat oleh negara-negara anggota BRICS, namun memicu kekhawatiran tersendiri di Washington DC.
Menanggapi ancaman tarif dari Trump, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyampaikan bahwa Indonesia sudah menyiapkan tim negosiasi yang standby di AS untuk mengantisipasi skenario terburuk.
“Saya kira pemerintah AS bisa bersikap lebih fleksibel terhadap Indonesia. Karena Indonesia negara penting — baik secara geoekonomi, perdagangan, maupun stabilitas kawasan,” ujarnya.
Meskipun tengah berkembang, pengaruh BRICS secara konkret dinilai masih terbatas. Alicia Garcia-Herrero, Kepala Ekonom Asia Pasifik di Natixis, menyebut BRICS masih terhambat oleh konflik internal dan ketidakseimbangan kekuatan, terutama dominasi Cina yang tidak selalu diterima oleh anggota lain seperti India dan Brasil.
Inisiatif seperti mata uang bersama BRICS (dijuluki “Unit”) juga masih jalan di tempat. India menolak gagasan tersebut karena takut dominasi yuan. Bahkan dari total perdagangan global senilai USD 33 triliun pada 2024, hanya 3% atau USD 1 triliun yang terjadi antarnegara BRICS.
“BRICS tumbuh cepat, tapi belum menghasilkan capaian besar. Jika tak disertai visi strategis dan kelembagaan yang solid, BRICS berisiko menjadi sekadar klub simbolik,” ujar Garcia-Herrero kepada DW.
Trump dan Perang Tarif Jilid II
Trump yang dikenal proteksionis sejak masa jabatan pertamanya tampaknya siap menghidupkan kembali perang dagang. Gedung Putih menyebut bahwa surat pemberitahuan tarif sudah dikirim ke puluhan negara menjelang berakhirnya masa penangguhan tarif 90 hari pada 9 Juli 2025.
Meski ancamannya kini “hanya” 10%, sebelumnya Trump pernah menyuarakan tarif 100% bagi negara-negara yang “bermain-main dengan dolar”.
Deklarasi Tegas dari BRICS
Dalam pertemuan tahunan di Brasil, para pemimpin BRICS sepakat mengecam sanksi dan tarif sepihak. Meski tidak menyebut nama Trump secara langsung, pernyataan itu jelas mengarah pada kebijakan AS:
“Kami menolak segala bentuk tarif proteksionis dan sanksi unilateral yang tidak sesuai prinsip WTO dan hukum internasional,” bunyi deklarasi BRICS, 7 Juli 2025.
BRICS juga memperluas cakupan agenda ke isu-isu global seperti:
- Tata kelola kecerdasan buatan (AI)
- Krisis Gaza, dengan mengecam “kelaparan sebagai senjata”
- Konflik Ukraina, yang dikecam tanpa menyalahkan Rusia secara eksplisit
- Reformasi Dewan Keamanan PBB, dengan dukungan kursi tetap untuk Brasil, India, dan Afrika
Ancaman Trump terhadap BRICS bisa berdampak pada:
- Perdagangan dan ekspor Indonesia ke AS, terutama sektor tekstil, alas kaki, dan komoditas
- Iklim investasi asing, yang bisa menjadi ragu melihat posisi geopolitik RI
- Kebijakan fiskal, apabila tarif diberlakukan akan meningkatkan beban biaya ekspor
Namun, menurut para analis, langkah Trump juga bisa menjadi boomerang. Negara-negara yang selama ini netral bisa terdorong lebih erat ke BRICS justru karena tekanan ekonomi sepihak.
BRICS kini berada dalam fase ekspansi dan reformasi. Meski jalannya tidak mudah karena perbedaan internal dan keterbatasan lembaga, kehadiran pemain baru seperti Indonesia memberikan legitimasi tambahan bagi blok ini.
Sementara itu, Trump kembali memosisikan dirinya sebagai pelindung dolar dan supremasi AS — bahkan dengan cara konfrontatif. Dunia kini mengamati: apakah ancaman Trump akan mendorong pembelotan, atau justru memperkuat tekad BRICS?