TRIBUNGROUP.NET – Nepal tengah menghadapi salah satu krisis politik paling serius dalam satu dekade terakhir. Gelombang protes yang semula dipicu oleh kebijakan pemerintah memblokir akses ke media sosial seperti Facebook, X (Twitter), dan YouTube, berubah menjadi kerusuhan berdarah yang melibatkan kekerasan fisik terhadap pejabat tinggi negara.
Langkah pemerintah melakukan blokir dianggap publik sebagai bentuk pembungkaman kebebasan berekspresi. Meski kebijakan tersebut dicabut beberapa hari kemudian, kemarahan warga tidak mereda. Justru, pemblokiran itu menjadi pemantik yang membuka luka lama: ketidakpuasan terhadap korupsi, lemahnya tata kelola, dan jarak antara elit politik dengan masyarakat.
Menlu Arzu Deuba Jadi Korban Amarah Massa
Salah satu momen paling mengejutkan adalah ketika Menteri Luar Negeri Nepal, Arzu Deuba, dikepung demonstran di kediamannya. Rekaman video yang beredar luas memperlihatkan Deuba, 63 tahun, dipukul dan ditendang hingga wajahnya berdarah. Adegan itu terekam bukan oleh media, melainkan oleh para demonstran sendiri yang masuk ke rumahnya.
Kekerasan terhadap pejabat negara di kediaman pribadi menunjukkan betapa rapuhnya situasi keamanan di Nepal saat ini. Belum ada laporan resmi mengenai kondisi Deuba pasca-insiden, tetapi peristiwa tersebut mempertegas betapa tingginya eskalasi amarah masyarakat.
Tidak hanya Menlu, Menteri Keuangan Nepal, Bisnhu Paudel, juga menjadi sasaran. Sebuah video menunjukkan dirinya berlari di jalanan ibu kota Kathmandu sambil dikejar demonstran. Dalam rekaman itu, seorang pengunjuk rasa menendang Paudel hingga ia jatuh menabrak tembok. Meski berhasil bangkit dan melarikan diri, kondisinya hingga kini masih belum jelas.
Aksi brutal terhadap pejabat negara di ruang publik memperlihatkan bahwa kerusuhan sudah melampaui batas wajar unjuk rasa. Rasa frustrasi publik meledak dalam bentuk kekerasan fisik yang jarang terjadi dalam sejarah politik Nepal modern.
Korban Jiwa dan Mundurnya PM Oli
Kerusuhan ini menelan sedikitnya 22 korban jiwa akibat tembakan aparat. Jumlah itu dikhawatirkan bertambah mengingat bentrokan masih berlangsung di beberapa titik.
Perdana Menteri Khadga Prasad Sharma Oli akhirnya mengumumkan pengunduran dirinya pada 9 September 2025. Meski langkah tersebut diharapkan bisa meredam amarah publik, kenyataannya demonstrasi masih berlanjut. Bahkan, kediaman PM Oli ikut dibakar massa, memperlihatkan bahwa krisis telah bergeser dari sekadar isu kebebasan digital menjadi protes terhadap legitimasi pemerintahan secara keseluruhan.
Akar Masalah: Korupsi dan Distrust Publik
Meski pemblokiran media sosial menjadi pemicu awal, para pengamat menilai gejolak ini berakar pada masalah lebih dalam: korupsi, lemahnya transparansi, dan kegagalan pemerintah memenuhi janji demokrasi pascareformasi.
Nepal selama ini menghadapi tantangan transisi dari monarki ke republik demokratis. Harapan publik terhadap elite politik tinggi, namun dalam praktiknya banyak kebijakan dianggap tidak berpihak pada rakyat. Pemblokiran media sosial dianggap hanya “titik ledakan” dari rasa frustrasi yang menumpuk.
Dampak Politik dan Regional
Pengunduran diri PM Oli membuka babak baru politik Nepal, tetapi juga menimbulkan ketidakpastian. Negara yang berbatasan dengan dua raksasa Asia, India dan Tiongkok, ini punya posisi strategis. Kerusuhan dalam negeri dapat mengganggu stabilitas kawasan, terutama jika eskalasi berlanjut.
Bagi masyarakat Nepal, pertanyaan terbesar adalah: apakah transisi politik kali ini akan membawa perbaikan, atau justru memperdalam jurang ketidakpercayaan terhadap pemerintah.
Unjuk rasa di Nepal kini bukan lagi sekadar soal media sosial. Kekerasan terhadap pejabat tinggi, korban jiwa yang terus berjatuhan, dan pengunduran diri perdana menteri menjadi tanda betapa seriusnya krisis ini. Dunia menanti langkah selanjutnya: apakah Nepal mampu keluar dari lingkaran kekerasan dan korupsi, atau justru semakin terjebak dalam instabilitas berkepanjangan.