Kontroversi Kebijakan Burden Sharing Yang Perlu Kamu Tahu!

TRIBUNGROUP.NET – Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Bank Indonesia (BI) menggagas kebijakan burden sharing untuk mendukung pendanaan program Asta Cita Presiden Prabowo Subianto. Skema ini diklaim bertujuan membantu pembiayaan sektor strategis, seperti program perumahan rakyat dan Koperasi Desa Merah Putih.

Secara teknis, BI menegaskan bahwa kebijakan ini dilakukan dengan membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder. BI menolak tudingan bahwa mereka “mencetak uang baru”. Menurut otoritas moneter, mekanisme ini hanya sebatas pembagian beban bunga dari penerbitan SBN.

Namun, sejumlah ekonom melihat langkah ini berbeda. Mereka khawatir burden sharing akan menjadi jalan pintas yang menyeret BI ke praktik pencetakan uang terselubung.

Kritik Ekonom: Sama Saja dengan Cetak Uang

Ekonom Bright Institute, Muhammad Andri Perdana, menilai bahwa pembelian SBN oleh BI, baik di pasar perdana maupun sekunder, pada dasarnya sama saja dengan mencetak uang.

“Itu hanya denial semantika. Secara praktis, ketika bank sentral menginjeksi likuiditas baru tanpa diimbangi penciptaan barang dan jasa, maka itu sama saja dengan pencetakan uang,” tegas Andri.

Ia menjelaskan, BI memang tidak secara fisik mencetak uang kertas. Namun, ketika BI membeli utang pemerintah, pemerintah memperoleh dana segar langsung dari bank sentral, bukan dari masyarakat atau investor swasta.

Menurutnya, hal ini jelas memperbesar jumlah uang beredar tanpa adanya peningkatan produksi riil di sektor ekonomi.

Risiko Ganda: Devaluasi dan Inflasi

Andri menilai kebijakan burden sharing sangat berisiko. Ada dua potensi bahaya besar yang bisa muncul:

Devaluasi Rupiah
Pemerintah akan kesulitan melunasi SBN yang jatuh tempo karena lemahnya penerimaan negara. Uang baru yang sudah beredar tidak dapat ditarik kembali dengan cepat. Akibatnya, nilai tukar rupiah berpotensi merosot.

Berita Lain  Satpol PP Di Tertawai TIM Nya Karena Mendapati Anaknya Sendiri Saat Razia Di Hotel

Lonjakan Inflasi
Jika likuiditas terlalu besar di pasar, BI terpaksa menaikkan suku bunga untuk meredam inflasi. Pengalaman burden sharing saat pandemi COVID-19 menunjukkan BI kesulitan menarik kembali uang yang sudah beredar, sehingga suku bunga tetap tinggi. Jika sekarang skema ini diperluas, dampaknya bisa jauh lebih serius.

Ancaman terhadap Independensi Bank Indonesia

Selain risiko ekonomi, Andri menyoroti aspek kelembagaan. Menurutnya, burden sharing melanggar semangat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2003, yang membatasi pembelian SBN oleh BI hanya dalam kondisi darurat atau krisis.

“Jika SBN sampai harus dibeli BI, artinya pemerintah sudah kehabisan opsi pembiayaan dari publik. Ini jelas menggerus independensi bank sentral,” ungkapnya.

Dengan BI dipaksa menanggung beban fiskal, fungsi utamanya sebagai pengendali stabilitas moneter dikhawatirkan terganggu.

Dampak Jangka Panjang bagi Ekonomi

Jika burden sharing terus dijalankan, Andri memperingatkan potensi kerugian serius bagi perekonomian Indonesia:

Kehilangan kepercayaan investor asing, yang bisa berujung pada arus keluar modal (capital outflow).

Meningkatnya premi risiko, sehingga pemerintah harus menawarkan bunga lebih tinggi untuk menarik investor membeli SBN.

Kondisi fiskal makin berat, karena bunga utang kian membengkak.

Ancaman inflasi tak terkendali setelah fase deflasi berakhir, yang akan memukul daya beli masyarakat.

“Masyarakat kini sudah tertekan akibat deflasi. Jika nanti ditambah inflasi tinggi, dampaknya bisa berlapis: daya beli melemah sekaligus harga barang melambung,” ujarnya.

Kebijakan burden sharing antara BI dan Kemenkeu masih menjadi polemik besar. Di satu sisi, pemerintah berargumen bahwa langkah ini diperlukan untuk mendukung program prioritas nasional. Namun, dari sudut pandang ekonom, pembelian SBN oleh BI sama saja dengan pencetakan uang yang berisiko menimbulkan devaluasi rupiah, inflasi tinggi, dan hilangnya independensi bank sentral.

Berita Lain  Penolakan Amnesti Wamenaker Noel & Pemecatannya

Jika tidak dikelola hati-hati, burden sharing bisa berbalik menjadi bumerang fiskal yang membebani generasi mendatang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *